TOPO SANTOSO-Dosen Dan pemerhati Pemilu

Membangun Pelindung Demokrasi

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #9

“Bapak dan Ibu Guru inilah hasil didikan kalian, jerih payahmu terbayar sudah dengan menghadirkan sosok yang bisa menjadi panutan seperti mas Topo ini”

topo santosoDalam kesehariannya, Topo Santoso mengajar bidang hukum pidana di Universitas Indonesia, tetapi dia lebih dikenal sebagai pakar hukum pidana pemilu. Pada Pemilu 1999 Topo menjadi Panitia Pengawas Pemilu di Kabupaten Bogor. Kemudian, Pemilu 2004 dia terpilih menjadi Panitia Pengawas Pemilu Pusat.

Sejak saat itu pula Topo menjadi pengamat pemilu, terutama bidang hukum pidana pemilu. Setelah tidak menjadi anggota Panwas, ia mendirikan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama rekan-rekannya, mantan anggota Panwas Pemilu 2004.

Topo mengharapkan penanganan pelanggaran pidana pemilu betul-betul bisa menjadi pelindung demokrasi, seperti yang sudah dilakukan di negara-negara lain. Berikut wawancara Kompas dengan Topo pada akhir Oktober 2009:

Mengapa Anda tertarik mendalami hukum pidana pemilu?

Hampir sangat sedikit orang yang mendalami pidana pemilu. Sebagian besar selalu berbicara mengenai sistem pemilu, bagaimana penyelenggaraan pemilu, daerah pemilihan, dan lain sebagainya. Tetapi, ketika masuk isu pidana pemilu, bagaimana penyelesaian sengketanya, tidak banyak yang membahasnya. Kemudian saya membuat disertasi saya mengenai hal itu.

Mengapa banyak sekali penanganan pidana pemilu yang belum selesai?

Hal yang paling pokok adalah kita belum tahu bagaimana menggunakan hukum pidana pemilu atau menyelesaikan pelanggaran pemilu untuk apa. Filosofi dasar penyelesaian pidana pemilu belum tahu. Pokoknya orang yang penting kalau ada perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam undang-undang berarti melanggar dan hukum harus ditegakkan. Ketika menyusun perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, tujuannya itu tidak kena. Tujuan penyelesaian pidana pemilu adalah pembatalan calon atau pembatalan hasil pemilu, tetapi di negara kita tujuan itu belum tercapai.

Tetapi, setiap pemilu, banyak pelanggaran pidana yang sudah disidangkan di pengadilan?

Di negara kita ini memang banyak sekali orang dipidana. Pada Pemilu 2004 saja ada 1.022 putusan pengadilan terkait pidana pemilu. Itu hanya untuk pemilu legislatif saja. Kalau sekarang, saya baca, ada sekitar 700 perkara pidana pemilu yang sudah diputuskan. Seharusnya yang diputus di pengadilan bisa lebih dari itu, dua sampai tiga kali lipat.

Tetapi, kita terbentur dengan peraturan batas waktu pelaporan singkat selama tiga hari, penyelidikan dan kajian oleh Panwas Pemilu juga sangat singkat. Kemudian yang terjadi adalah perkara yang sudah mulai diproses atau terdengar panwas mulai cari bukti, orangnya kabur. Bila terlewati tiga hari tidak bisa diproses lagi. Akhirnya banyak sekali perkara pidana pemilu yang seharusnya masuk ke pengadilan, jadi tidak masuk.

Pelanggaran pidana apa saja yang banyak masuk ke pengadilan?

Banyak pidana pemilu diselesaikan di pengadilan, tetapi yang mengherankan sedikit sekali orang yang terlibat dalam pidana pemilu itu kemudian didiskualifikasi dari pencalonan atau hasil pemilu dibatalkan karena kasus pidana pemilu. Kenapa? Karena aturan kita hanya menyebut money politics sehingga seseorang yang dipidana karena melakukan politik uang dan pelanggaran dana kampanye dibatalkan sebagai calon atau calon terpilih, hanya itu.

Padahal, jenis pelanggaran pidana pemilu jumlahnya lebih dari 50, seperti yang diatur dalam UU Pemilu. Misalnya, seseorang yang memalsukan dukungan, meski dipidana, tetap saja bisa maju sebagai calon. Atau seseorang yang melakukan intimidasi atau terkait tindak pidana pemilu lainnya, tetapi tidak didiskualifikasi.

Artinya hukum pidana dijalankan, tetapi tidak ada implikasi terhadap pelaku?

Ya, betul. Pada gugatan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi, sebagian besar seputar tentang perselisihan hasil suara pemilu. Kemudian MK memperluasnya menjadi pelanggaran yang dilakukan masif, sistematis, dan terstruktur bisa membatalkan hasil pemilu.

Kalau saya melihat, seharusnya putusan pengadilan untuk pidana pemilu juga bisa dipakai sebagai dasar gugatan. Undang-undang harus mengatur hal itu. Banyak orang menggugat disebabkan adanya pelanggaran pidana pemilu yang dilakukan orang lain. Dalam persidangan, pasti ditanyakan hitung-hitungan bahwa dia kalah dengan pihak lain, tetapi kemudian tidak bisa dibuktikan.

Jadi, sebetulnya salah satu isu yang menarik dibahas adalah keterkaitan pidana pemilu sebagai alat implikasi lain sebagai putusan. Jadi, selain dipidanakan juga dibatalkan sebagai calon. Intinya, pidana dipakai sebagai dasar menggugat pihak lain di MK. Di beberapa negara juga mengatur itu, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Mengapa negara kita belum?

Dugaanku, alasan kesejarahan menjadi salah satu penyebabnya. Kalau membaca UU Pemilu tahun 1953 atau di masa Orde Baru, tahun 1971, tindak pidana pemilu tidak terlalu mendapat perhatian yang cukup.

Setiap kali akan menyelenggarakan pemilu melakukan studi banding sehingga sistem pemilu berganti-ganti. Namun, hal-hal terkait pelanggaran pidana pemilu dan penyelesaiannya serta implikasi hasil pemilu tidak ada karena dalam studi banding tidak melihat hal itu.

Selain itu, budaya kita masih senang memidana orang lain tanpa mengetahui tujuannya untuk apa. Kalau untuk pemilu, seharusnya putusan pengadilan bisa membatalkan hasil pemilu. Misalnya, putusan pengadilan hanya dikenakan pada orang yang berada di lapangan, sedangkan aktor intelektualnya tidak kena. Dengan sistem seperti itu, tetap saja pelanggaran pidana pemilu jumlahnya banyak karena orang tidak jera dengan ancaman sanksi pidana.

Bagaimana dengan aparat penegak hukum yang menangani pelanggaran pidana pemilu?

Di negara lain, tindak pidana pemilu ditangani oleh sistem peradilan yang memang sudah ada, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kalau di sini, ketika akan pemilu, kepolisian membentuk tim khusus penanganan pidana pemilu hanya dengan surat tugas. Begitu pula dengan kejaksaan dan pengadilan. Kalau saya tidak setuju.

Bila penegak hukum dianggap kurang mampu, mungkin karena soal pemahaman yang kurang terhadap peraturan pemilu. Apakah mereka pernah dapat peningkatan kapasitas soal pemahaman mereka tentang tindak pidana pemilu? Saya kira tidak pernah ada.

Punya pengalaman dengan penegak hukum yang kurang memahami peraturan pemilu?

Saya pernah jadi saksi ahli di suatu pengadilan pidana pemilu. Hakim yang menangani perkara belum memegang surat keputusan KPU terkait persoalan yang diperkarakan. Di lain waktu, hakim yang menangani perkara baru mendapat UU Pemilu sehari sebelum sidang. Jadi, bagaimana mereka akan memutuskan perkara kalau peraturannya saja mereka baru tahu sesaat sebelum sidang?

Bagaimana Anda menilai penyelenggaraan Pemilu 2009?

Di satu sisi, demokrasi sudah bagus, ada perbaikan sejak reformasi. Kemudian, Pemilu 2004 sudah ada pemilihan langsung. Berkaca dari Pemilu 2004, hasil Pemilu 2009 mundur. Pada Pemilu 2009 seharusnya kita tidak berbicara lagi persoalan teknis pemilu, tetapi berbicara mengenai peningkatan kapasitas DPR, DPD, dan DPRD.

Oleh Maria Susy Berindra / KOMPAS, Jumat, 6 November 2009

Tinggalkan komentar